Banyuwangi - Abdullah Azwar Anas, putra asli Banyuwangi, Jawa
Timur sukses meniti karir politiknya. Bahkan, politikus kelahiran 6
Agustus 1973 ini, mampu membangun Tanah Blambangan menjadi kabupaten
yang diperhitungkan dunia selama dua periode kepemimpinannya. Bupati
Anas pun ingin berbagi kisah suksesnya kepada 235 pelajar SMK Negeri 2
Tegalsari, Selasa (19/7).
Suami Ipuk Fiestiandani ini
menceritakan bagaimana masa kanak-kanaknya, dilalui dalam kondisi
ekonomi orangtuanya yang serba pas-pasan. Untuk bisa sekolah, Anas kecil
harus berjuang keras. Saat di bangku sekolah, dia pernah berjualan
makanan sembari sekolah. Di bangku Madrasah Ibtidaiyah (MI) setara
dengan SD, politikus PKB ini pernah bersekolah MI Karangdoro, Kecamatan
Tegalsari (1980-1982) Kemudian pindah di MI An-Nuqoyyah, Guluk-Guluk,
Kabupaten Sumenep, Madura pada Tahun 1982 hingga 1983.
Bupati
yang masa kecilnya akrab disapa Dollah ini, ternyata juga seorang gus
(panggilan anak seorang kiai di Jawa Timur). Anas adalah anak seorang
kiai kampung, pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Mabadi'ul Ikhsan, Desa
Karangdoro, yaitu alamarhum KH Musayyidi. Anas anak pertama dari 10
bersaudara. Sebenarnya, Anas bukan anak pertama. Tapi karena anak
pertama atau kakaknya meninggal saat masih bayi, mantan anggota DPR/MPR
ini pun diklaim sebagai anak pertama.
Dari semua saudaranya
itu, setelah lulus dari MI, hanya Anas yang melanjutkan di pendidikan
umum, yaitu SMP Negeri 1 Genteng 1986-1988 dan SMP Negeri 1 Banyuwangi
di Tahun 1988-1989. Sementara kesembilan adiknya tetap sekolah di
pendidikan agama. Lulus SMP, Anas melanjutkan ke SMA negeri 1 Jember
Tahun 1992.
"Waktu di sekolah umum, saya minta izin abah (Kiai
Musayyidi) dulu. Dan beliau mengizinkan. Tapi ada syaratnya, saya tidak
boleh kos. Jadi saya tetap tinggal di pondok. Sebab kalau di pondok,
minimal saya bisa salat subuh berjemaah," kata Anas.
Karena
tinggal di pondok, saat sekolah, Anas berjalan kaki. "Saya biasa jalan
kaki atau naik sepeda. Terkadang gandol truk atau mobil pick up ke
sekolah. Waktu saya sekolah, banyak teman-teman sekolah naik motor. Ada
juga yang diantar naik mobil. Karena naik motor, pacarnya cantik-cantik.
Sedang saya, paling tidak laku dulu," selorohnya sembari tersenyum.
Namun
hal itu tak membuatnya minder. Anas makin percaya diri. Dia
berkeyakinan, orang sukses, adalah mereka yang bisa mengendalikan
kesenangan untuk hari ini. “Yang senang-senang hari ini, belum jaminan
meraih sukses di masa depan. Yang biasa naik mobil belum tentu
beehasil,” katanya menghibur.
Itu dibuktikan dengan kisah
beberapa teman-teman sekolahnya. Si gus ini berkisah, saat di bangu SMA,
dia memiliki teman satu kelas yang nasibnya lebih menyedihkan dari
dirinya. “Namanya Muhroji. Dia anak dari keluarga miskin dari Ambulu.
Saat berangkat sekolah, dia jarang makan,” ujar Anas.
Untuk bisa
berangkat sekolah, Muhroji harus mengeringkan dulu celanannya di kamar
ketika musim hujan. Karena celana sekolahnya cuma satu, yang didapat
saat kali pertama mendaftar sekolah. Sepatunya juga cuma satu dan terus
dipakainya meski sudah berlubang. Muhroji juga tidak punya tas, bukunya
selalu dimasukkan ke tas plastik.
“Saat di sekolah, sulit
mencari Muhroji. Dia hanya bisa ditemui di musola. Di selalu salat
Dhuha. Dia gak pernah jajan. Kalau ke kantin saya yang belikan. Uang
saya, saya bagi sama dia. Saya dulu nyambi kerja di Radio Prosalina FM
Jember. Honornya, saya bagi dengan Muhroji,” Anas masih menceritakan
kisahnya.
Usai lulus SMA, Anas mengajak sohib karibnya itu ke
Jakarta. Saat itu, Anas kuliah di Fakultas Teknologi Pendidikan IKIP
Jakarta. Karena di Jakarta anak Kiai Musayyidi ini belum mendapat
pekerjaan, dia tidak bisa berbagi dengan Muhroji, yang tidak melanjutkan
pendidikannya ke perguruan tinggi.
Karena dalam kondisi sulit
di Jakarta itulah, Muhroji memutuskan kerja sebagai tukang sapu. Setahun
kemudian, Muhroji mendapat beasiswa kuliah di STT Telkom. “Meski dari
keluarga miskin, Muhroji anak yang cerdas. Karena kesabaran dan
kegigihannya, dia kini jadi orang sukses. Lama tidak ketemu, sampai
akhirnya ketemu di Facebook, dia ngabari saya kalau sekarang bekerja di
Telkom yang ada di Sumatera Utara. Dia j=uga sudah memberangkatkan orang
tuanya ke Tanah Suci dan punya rumah,” ceritanya.
Dari cerita
ini, Anas ingin generasi-generasi muda di Banyuwangi bisa mengambil
hikmah dari kisah tersebut. Menurutnya, tidak semua kesuksesan didapat
dengan fasilitas mewah. Seperti kisah teman-temannya yang dulu berangkat
sekolah dengan motor dan mobil, tapi sekarang banyak yang mengais
rezeki di pasar. Sementara Muhroji yang dari keluarga miskin, menjadi
orang sukses. “Yang utama adalah ikhtiar. Banyak belajar dan kerja
keras. Kemudian doa. Muhroji sering Salat Dhuha dan Tahajud. Jangan
tinggalkan solat berjamaah. Minta doa orangtua, jangan hanya minta uang
saja, tapi doa,” nasehat Anas ke para pelajar.
Anas juga
mencontohkan tradisi orang Jepang dan Korea yang selalu membungkuk dan
hormat pada orang tua dan guru. “Di Eropa, orang bule itu suka
mengangkat kakinya dan cuek saat ketemu orang lebih tua. Beda dengan
Jepang dan Korea, yang menjaga sopan santun. Ini sesuai ajaran Islam,
yang mengajarkan selalu hormat pada orang tua. Ekonomi Eropa sekarang
menurun, Jepang naik,” kata dia.
Selanjutnya istikhomah. “Tidak
boleh putus asa. Siapa yang suka bola. Di Euro kemarin, secara sistem
orang mengira Perancis juaranya. Tapi ternyata Portugal yang menang. Ini
karena perjuangan yang tak kenal lelah. Kemudian biasakan berbagi.
Seperti Muhroji tadi. Jangan-jangan saya seperti ini karena Muhroji.
Karena saya sering berbagi dengan dia, akhirnya saat salat dia juga
mendoakan saya. Jadi amal jariyah juga penting,” ujar Anas.
Sekali
lagi, Anas mengatakan, ukuran sukses tidak bisa dilihat dari fisiknya.
“Ukuran sukses itu bukan orang yang punya mobil mewah, punya rumah
bagus. Tapi apakah orang itu bahagia? Punya mobil bagus, tapi hasil
kredit. Akhirnya tidak bahagia. Sukses itu bagaimana saat lulus sekolah
mampu menjadi entreprenuer andal. Bisa mencipatakan pekerjaan. Bukan
mencari pekerjaan,” Anas menutup kisahnya.