GIRI – Menyambut tradisi Puter 
Kayun (pelesir masal) yang dilaksanakan pada hari ini, kemarin (13/7) 
warga Boyolangu menggelar tradisi arak-arakan tapekong dan kebo-keboan 
keliling kampung. Saking banyaknya penonton, jalanan kampung di 
Kelurahan Boyolangu sempat macet.
Warga tumplek-blek di jalan kampung 
untuk menyaksikan arak-arakan tersebut. Selama pawai berlangsung, 
ditampilkan seluruh kesenian asal Boyolangu. Ada kesenian kuntulan, 
barong, tapekong atau ondel-ondel, gandrung, hadrah, patrol, atraksi 
sembur api, dan kebo-keboan.
”Arak-arakan dilaksanakan sehari sebelum
 Puter Kayun digelar,” terang Prasetyo, warga Kelurahan Boyolangu. Dalam
 pawai budaya keliling kampung itu warga yang menjadi kebo-keboan sempat
 mengalami kesurupan saat keliling kampung.
Warga yang kesurupan dan  bertingkah 
seperti kerbau itu justru menjadi tontonan warga. Anak-anak juga 
menggoda kebo-keboan yang kesurupan itu dengan siulan keras. Warga 
mempercayai, menampilkan kebo-keboan dalam arak-arakan itu merupakan 
ungkapan  rasa syukur kepada Tuhan atas hasil pertanian warga Boyolangu.
Kepala Dinas Kebudayaan dan  Pariwisata 
(Disbudpar) Banyuwangi, M. Yanuarta Bramuda, mengatakan tradisi mengarak
 kebo-keboan keliling kampung itu bertujuan sebagai ungkapan rasa syukur
 atas hasil pertanian warga Boyolangu selama ini.
Sementara itu, tradisi Puter Kayun, 
menurut Bram, merupakan suatu tradisi untuk mengenang leluhur mereka, 
yaitu Buyut Jakso, yang dulu pernah melakukan semedi di Gunung Silangu 
yang saat ini bernama Boyolangu.
Tradisi Puter Kayun itu merupakan suatu 
tradisi di mana masyarakat Boyolangu berbondong-bondong menuju Pantai 
Watudodol. Mereka  melakukan perjalanan naik dokar menuju Pantai 
Watudodol pada  hari kesepuluh setelah Idul Fitri  (hari ini).
”Rutenya sama, dari Kelurahan Boyolangu 
menuju Pendopo  terus ke utara menuju arah Watudodol lewat Ketapang,” 
jelas  Bramuda kepada Jawa Pos Radar Banyuwangi. (radar)
 

 
 
 
 
 
0 komentar:
Post a Comment