Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu tidak menyetujui perintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait pembongkaran kuburan massal korban tragedi 1965. Hal tersebut dilontarkan Ryamizard karena pembongkaran dikhawatirkan akan menimbulkan konflik baru.
Pengamat Hukum Tata Negara Margarito Kamis berpendapat, tidak ada alasan apapun untuk menolak perintah presiden termasuk pembongkaran kuburan massal korban tragedi 1965 oleh Ryamizard sebagai Menhan.
“Menhan itu kan pembantu presiden, jadi dari segi manajemen konstitusi menteri tidak bisa menolak presiden, apapun alasannya,” ujar Margarito saat dihubungi Sindonews melalui telepon, Sabtu (14/5/2016).
Menurut Margarito, penolakan Ryamizard tersebut mencerminkan ketidaksenadaan di dalam Kabinet Kerja secara komprehensif khususnya dalam menangani isu tragedi 1965.
“Ini menunjukkan menajemen di dalam pemerintahan tidak beres. Kenapa? karena suatu kebijakan yang strategis menuai penolakan dari menterinya. Dapat dipastikan masalah ini tidak dibicarakan secara konprehensif,” ucap Margarito.
Oleh karena itu, Margarito menyarankan supaya Presiden Joko Widodo (Jokowi) perlu kembali menata manajemen khusus untuk menyelesaikan isu tersebut agar tidak menimbulkan kegaduhan.
“Perlu kembali menata manajemen khusus isu ini, agar kebijakan yang telah dilontarkan Jokowi tidak menimbulkan kegaduhan yang merugikan kita sendiri,” jelasnya.
Sekadar informasi, Menhan Ryamizard menolak perintah presiden Jokowi untuk membongkar kuburan massal tragedi 65. Hal itu disampaikan Ryamizard usai menyatakan sikap terhadap isu komunisme bersama Purnawirawan TNI-AD dan organisasi anti PKI di Balai Kartini, Jakarta Pusat, kemarin.
Sumber : okezone
Berikan Tanggapan Penilaian Anda Tentang Artikel Yang Telah Anda Baca Sebagai Motifasi Agar Blog Ini Berkembang Lebih Baik
0 komentar:
Post a Comment