Mohamad Soleh, pria asal Desa Margomulyo, Kecamatan Glenmore, Kabupaten Banyuwangi, ini punya semangat tangguh. Meskipun upahnya hanya Rp 15 ribu per hari sebagai Paker Honorer (keamanan perkebunan), tapi dia berhasil menyekolahkan anak sulungnya sampai tuntas di perguruan tinggi pada 2009-2014.
Pria kelahiran 1965 asli Pamekasan, Madura, ini pertama kali bekerja di PT Perkebunan Glenmore sejak 1987. Mulanya, dia hanya menjadi buruh mencangkul dan memanen kakao, kopi dari perkebunan. Menjelang era krisis 1997, Soleh dikenal lihai mendeteksi dan menangkap maling kakao dan kopi milik perkebunan.
"Sejak saat itu, saya terus diminta sama Sinder Perkebunan Glenmore untuk menjadi Paker," ujarnya saat ditemui di lokasi kerjanya pada Merdeka Banyuwangi, Kamis (17/3).
Mulanya, Soleh tidak langsung menerima tawaran tersebut. Dia takut tidak bisa menjalankan tugas tersebut secara maksimal, akibat merasa kurang menguasai komunikasi dengan beragam orang. "Ya maklum, saya kan hanya lulusan S3. Selesai sampai kelas tiga SD maksudnya," ujarnya bergurau.
Baru pada 1998, Soleh bersedia menjadi Paker, karena perkebunan merasa rugi akibat banyak pencuri di era krisis tersebut. Saat itu, upah Soleh hanya Rp 4000 per hari. Sampai pada 2009, upah Soleh masih dikisaran Rp 15 ribu rupiah. Padahal, saat itu, anak sulungnya yang bernama Hidayatus Sofyan sudah waktunya melanjutkan pendidikan tingkat perguruan tinggi.
Tekat Soleh menyekolahkan anak laki-lakinya sampai di Perguruan Tinggi tidak lain karena Hidayatus Sofyan yang akrab dipanggil Badrun ini memiliki kemauan tinggi untuk kuliah. "Kalau si anak tidak punya semangat kan percuma orang tua membiayai. Kalau saya hanya berusaha sebisa mungkin," jelasnya.
Badrun diterima di Universitas Jember, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP), jurusan Kesejahteraan Sosial pada 2009 lewat Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi (SNMPTN). Dia berhasil menyelesaikan kuliahnya dan lulus pada 2014, tepat selama delapan semester.
Pada 2009, saat itu belum ada fasilitas beasiswa Bidikmisi dari Dikti. Meski Badrun mulai dari SD sampai tingkat SMA seringkali mendapat juara satu di kelasnya, dia belum bisa mendapatkan biasiswa yang ditanggung selama delapan semester tersebut.
"Waktu itu memang belum ada. Jadi dia hanya mendapatkan beasiswa BBM dari hasil seleksi tiap semester di kampus. Seingat saya dia hanya dapat tiga kali beasiswa itu," ujar Afifudi Syarif, teman satu angkatan kuliahnya.
Pertama kali mengantarkan anaknya di stasiun untuk pemberangkatan Badrun mengikuti tes masuk perguruan tinggi, Soleh hanya membawakan bekal tiga bungkus nasi dengan daun pisang. "Lauknya cuma tahu yang saya potong-potong," kenang Soleh.
"Sampai di Jember, saya sama Badrun mbambung (terlantar) tidak punya tempat tinggal. Untung saja waktu itu ada orang yang mau menolong memberi tempat tinggal. Itu karena kebetulan sama-sama dari alumni SMA saya," tambah Afif.
Tekat Badrun berangkat kuliah, kata Soleh, karena dibarengi dua teman desanya yang juga senasip. Salah satunya yakni Afif. Selama Badrun kuliah, dengan penghasilan orang tua per bulan Rp 450 ribu, dia hanya dibekali uang Rp 50 ribu dan beras 2 kilo. "Badrun biasanya hanya pulang dua Minggu sekali. Setiap pulang dia saya kasih uang Rp 25 ribu," tutur Soleh.
Bila Soleh ingin menjenguk Badrun di Jember, dia seringkali mencari uang dari hasil mencari Bekicot (keong darat). Sedangkan istrinya, membantu penghasilan keluarga dengan mencari sayur pakis di areal perkebunan karet.
Sampai sekarang, Soleh belum diangkat sebagai karyawan tetap. Honor yang diterima Soleh dihitung berdasarkan hari kerja. "Saat libur ya tidak digaji," ujarnya. Perhitungan upah per hari saat ini masih jauh dari UMK Banyuwangi yang mencapai Rp 1.559.000. "Bayaran saya per hari sekarang Rp 42 ribu".
Menurut dia, nilai tersebut bisa bertambah tiap tahunnya, dengan kisaran Rp 5 sampai 6 ribu. "Ya alhamdulillah, meski waktu itu banyak orang yang meragukan saya tidak mungkin bisa menguliahkan anak. Sebenarnya yang pentingkan kemauan anak itu sendiri," terang Soleh.
0 komentar:
Post a Comment