Ancaman Pidana Mati Bagi Terorisme Dinilai Tak Berguna
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menolak ancaman pidana mati bagi teroris masuk dalam revisi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Selain menilai tidak berguna, langkah itu juga dianggap akan menegaskan bahwa pelaku terorisme adalah pahlawan ideologis.
Dalam draf revisi UU Terorisme yang telah disampaikan Pemerintah kepada DPR, ancaman pidana mati bagi pelaku tindak pidana terorisme setidaknya diatur oleh dua pasal, yakni di Pasal 6 dan 14.
“Kajian apakah ancaman pidana mati cukup efektif untuk menanggulangi tindak pidana terorisme di Indonesia tidak cukup kuat dan evaluasi terhadap eksekusi mati selama ini juga tidak ada dari Pemerintah. Kami secara tegas menolak ancaman pidana mati masuk dalam revisi UU Terorisme,” kata Direktur Ekesekutif ICJR Supriyadi Widodo Eddyono dalam keterangan tertulis yang diterima CNNIndonesia.com, Jumat (6/5).
Dia mengatakan, berdasarkan catatan ICJR, setelah terpidana mati kasus terorisme pembajakan pesawat Garuda Airways dengan kode DC-9 Wolya Imran bin Mohammed Zein dieksekusi, pemerintah Indonesia telah mengeksekusi mati sejumlah terpidana kasus terorisme, mulai dari trio kasus Pembajakan Woyla hingga pelaku Bom Bali.
Namun, menurutnya, langkah tersebut tidak diikuti dengan penurunan angka tindak terorisme di Indonesia. Sampai saat ini, tindak terorisme masih merajalela.
“Ini membuktikan bahwa ancaman pidana mati sama sekali tidak memberikan efek jera bagi teroris,” kata Supriyadi.
Lebih jauh, dia mengatakan, bila melihat tinjauan historisnya, ancaman pidana mati juga tidak tepat digunakan. Selain hanya akan melahirkan kasus teror lainnya, ancaman pidana mati juga akan melahirkan perlawanan yang lebih besar.
Perlu dicatat, Supriyadi melanjutkan, extra judicial killing (pembunuhan di luar proses peradilan) juga dilakukan dalam penegakan hukum kepada teroris terduga teroris di Indonesia. Aparat penegak hukum sudah melakukan pembunuhan, tanpa melewati proses persidangan.
“DPR harus melihat lebih jernih lagi kenyataan dan fakta ini. Kebijakan untuk mengahapuskan pidana mati dalam tindak pidana terorisme harus dilihat dalam agenda yang lebih besar,” kata dia.
Supriyadi menegaskan, ancaman pidana mati juga akan merusak program deradikalisasi yang diharapkan pemerintah dalam revisi UU Terorisme. Karena dengan mengeksekusi mati, teroris akan merasa terhormat dan merasa dirinya mati terhormat
.
0 komentar:
Post a Comment